“Pisau bermata dua” begitulah kira-kira ungkapan yang biasa dipakai untuk menggambarkan sesuatu yang bisa mendatangkan kebaikan maupun keburukan dalam satu waktu sekaligus. Nampaknya ungkapan tersebut, amat cocok untuk menggambarkan efek media massa, cetak maupun elektronik. Sebab bisa mendatangkan kebaikan sekaligus bisa pula menebarkan keburukan.
Jika demikian realitanya, bagaimanakah seharusnya muslim bersikap? Apakah wajib mengucilkan diri dan menutup mata rapat-rapat dari berbagai media tadi? Ataukah sebaliknya menelan mentah-mentah segala apa yang disajikan tanpa memfilternya?
Tentu saja, seorang muslim harus bersikap cerdas dan bijak dalam menghadapi segala sesuatu, termasuk fenomena gempuran dahsyat media massa. Cerdas dalam arti melandaskan sikapnya di atas pedoman agama yakni kitab dan sunnah, juga senantiasa mengambil arahan dan petunjuk dari para ulama. Adapun sikap bijak berarti berusaha memilah dan memilih mana yang bermanfaat dan mana yang sebaliknya, yakni yang berbahaya. Lalu mengambil yang bermanfaat serta meninggalkan yang berbahaya.
Media membawa misi pemiliknya
Media cetak maupun elektronik tentu bukanlah barang yang tak bertuan. Dia dimiliki oleh orang-orang yang memiliki ideologi dan keyakinan. Andaikan ideologi yang diusung baik, maka akan berdampak positif bagi misi media yang dimilikinya. Sebaliknya bila ideologinya buruk, maka tentu akan berdampak negatif bagi misi medianya.
Allah ta’ala mengingatkan,
“الْمُنَافِقُونَ وَالْمُنَافِقَاتُ بَعْضُهُم مِّن بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمُنكَرِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمَعْرُوفِ وَيَقْبِضُونَ أَيْدِيَهُمْ نَسُواْ اللّهَ فَنَسِيَهُمْ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ هُمُ الْفَاسِقُونَ“.
Artinya: “Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh membuat yang munkar dan melarang berbuat yang ma´ruf dan mereka berlaku kikir. Mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka. Sesungguhnya orang-orang munafik itu adalah orang-orang yang fasiq.” QS. At-Taubah (9): 67.
Tidak menelan mentah-mentah setiap berita
Satu hal yang harus selalu kita ingat, bahwa media tidak lepas dari kepentingan. Entah itu kepentingan bisnis maupun kepentingan politik. Sehingga berita yang disajikan pun seringkali merupakan representasi atau perwakilan dari kepentingan tersebut.
Maka, tidak selayaknya seorang muslim menjadi bulan-bulanan korban media. Sebab sejatinya mereka telah memiliki panduan yang jelas dalam menyikapi berita. Sebagaimana dijelaskan Allah ta’ala,
“يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوا أَن تُصِيبُوا قَوْماً بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ“.
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasiq membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” QS. Al Hujurat (49): 6.
Apa yang kami sampaikan tadi bukanlah dalam rangka men-generalisir seluruh media massa. Namun sekedar memotivasi kaum muslimin agar bersikap bijak dan cerdas dalam menghadapi tayangan serta berita yang mereka konsumsi. Sebab alhamdulillah masih ada media yang relatif menjunjung tinggi objektifitas dan independensi, sekalipun harus beresiko ‘kurang lakunya’ media mereka. Sebab berani melawan arus isu mainstream yang menggurita.
Bila telah jelas keburukan trackrecord suatu media, cetak atau elektronik, maka yang pantas bagi seorang muslim adalah menghapus chanel tersebut dari daftar stasiun yang tercantum di televisinya. Jangan mau bersikap sukarela manakala diracuni!